Sabtu, 27 April 2013

Dua Hari


“Ahh, menyebalkan!” gumamku.
Seharusnya aku bisa menggambar lagi di taman hari ini, tapi tiba-tiba saja ada orang yang menempati bangku yang biasa aku duduki. Tadinya aku sudah meminta dengan baik-baik untuk memintanya mencari bangku lain, namun dia malah menolaknya dengan keras.
            “Apa hakmu mengusirku dari sini!? Bukankah di sini ada puluhan bangku? Mengapa tidak cari bangku lain saja?
            Dengan berat hati akupun menyerahkan bangku kesayanganku itu ke orang lain yang bahkan aku tidak tahu namanya.
***
Beberapa hari selanjutnya ia terus berada di bangku itu, ia selalu sampai lebih dulu dan memaksaku duduk di bangku lain. Membuatku tidak bisa nyaman menggambar, namun tiba-tiba ia menghampiriku.
            “Apa bangku itu berarti buatmu hingga menyebabkanmu sangat menginginkannya?”
            “Bagaimana kau bisa berpikir seperti itu?”
            “Aku tidak secuek yang kamu kira, aku selalu memperhatikanmu melangkah ke arah bangku itu, namun aku lebih dulu berada disana.”
Aku tak menyangka ia begitu, tidak seperti yang terlihat oleh mataku.
            “Aku Jhovian.” Ia mengulurkan tangannya.
            “Aku...”
            “Aurelia, bukan? Aku bisa membaca namamu dari seragammu.”
            “Hmm, iya benar.” gumamku.
            “Kamu pandai menggambar rupanya?” ia memperhatikan gambar yang belum aku selesaikan itu.
            “Tidak juga, aku hanya suka mencurahkan apa yang kulihat dan menorehkannya di atas kertas.”
            “Gambarmu benar-benar bagus!” ia mengambil gambarku dari tanganku.
            “Tidak terlalu bagus akhir-akhir ini.”
            “Apa karena kamu tak lagi menggambar di bangku itu?”
Aku kaget mendengar pertanyaannya, aku tidak menyangka ia berpikir sejauh itu.
            “Maaf jika aku merebut bangkumu. Sejujurnya aku juga suka menggambar, memang beberapa orang mempunyai tempat spesial untuk menggambar. Dan akupun juga merasa nyaman di situ.”
            Ia terus memandangku.
            “Baiklah, kamu boleh kembali ke bangku itu tapi dengan satu syarat.”
Aku mengernyitkan dahi.
            “Apa syaratnya?”
            “Adikku sedang sakit, ia memintaku menggambar wajahnya sebagai hadiah ulang tahunnya dua hari lagi. Namun aku hanya mampu menggambar melalui corel draw, sedangkan aku merasa tidak puas dan tidak mampu jika aku menggambar di atas kertas. Jadi, maukah kau menggambar wajah adikku untukku?”
Tampak raut mukanya mulai mendung, matanya sayu.
“Baiklah, aku akan mengabulkan permintaanmu.”
“Terimakasih. Ini fotonya adikku. Dia seumuran denganmu. Bisakah kamu menyelesaikannya dalam dua hari?”
“Tentu saja”
“Oke, aku akan menemui lagi. Disini di jam yang sama.”
“Baiklah, aku tunggu”
“Sampai jumpa”
Ia pergi begitu saja dari hadapanku, menghilang di penghujung jalan.
***
Keesokan harinya aku mulai menggambar wajah adiknya, wajah yang sangat cantik menurutku. Seperti yang dijanjikan, aku kembali lagi ke bangkuku semula. Namun ia tidak terlihat datang ke taman.
            “Ahh, mungkin ia sedang menemani adiknya.” Pikirku.
Aku menyelesaikan gambar itu tepat pada waktunya. Aku datang ke taman itu seperti yang telah di janjikan sebelumnya. Selang satu jam, dua jam aku menunggunya, ia tak kunjung datang. Aku mulai resah.
            “Dimana dia sekarang? Apa ia lupa?”
            Sambil menunggu aku mengambil foto adiknya dari tasku. Namun aku terheran-heran ketika menemukan sebuah tulisan di balik foto itu. Bahkan aku baru tahu jika ada tulisan di situ, membuatku tertarik untuk membacanya.
            “Terimakasih, kamu sudah bersedia menggambar wajah adikku untukku. Namun, jika ternyata dua hari lagi aku tak datang menemuimu, mungkin...”
Dan tiba-tiba, pipiku pun terasa basah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar